LEGENDA RAJAMANDALA
Pada
jaman dahulu kala ditataran tanah sunda terdapat sebuah kerajaan yang subur dan
makmur, hasil panen yang melimpahruah
membuat rakyatnya sangat aman dan sejahtera. Kerajaan tersebut sangat
terkenal keberbagai pelosok di negeri nusantara ini karena tanahnya yang subur
dan makmur. Kerajaan tersebut bernama “Megamendung” dengan rajanya yang bernama
Purwakarta. Namun raja tersebut terkenal dengan julukan “Raja Mandala”.
Rajamandala adalah nama sebuah gelar seorang raja dikerajaan Megamendung. Sang
Raja mempunyai seorang prameswari yang bernama Sang Dewi “Nyimas Plered”.
Diawal pernikahanya
dengan Nyimas Plered dan Rajamandala dikaruniai seorang putra laki-laki yang
diberi nama Mandalawangi. Sang Raja sangat senang sekali memiliki seorang
keturunan laki-laki karena kelak diakhir nanti bisa mengantikan posisi dirinya
sebagai seorang Raja. Sang Raja pun berkata kepada istrinya Nyimas Plered
“Wahai istriku kita bersyukur telah dikaruniai seorang anak laki-laki sekarang
saya menginginkan seorang anak perempuan”. Lalu Nyimas Plered pun menjawab
“Baiklah wahai kakandaku tercinta kita mulai sekarang akan berusaha menambah
putra lagi hingga kita mendapatkan keturunan seorang putri yang cantik jelita”.
Tak lama kemudian Nyimas Plered pun dikaruniai lagi seorang putra yang kedua
dan diberi nama Mandalagiri. Sang Raja sangat
senang sekali walaupun sebenarnya Sang Raja menginginkan lahir seorang anak
perempuan.
Disela-sela kesibukan
sang Raja, Nyimas Plered memperhatikan
tingkah laku sang Raja yang akhir-akhir ini selalu termenung. Lalu Nyimas
Plered pun memnghampirinya. Seraya Nyimas Plered pun berkata kepada Sang Raja
“Wahai sang Raja apa yang sedang kamu pikirkan?”. Lalu sang Raja pun menjawab
“Saya merindukan seorang putri
perempuan yang cantik jelita”. Dan akhirnya Nyimas Plered pun berjanji pada
dirinya sendiri untuk memberikan seorang putri yang di inginkan oleh sang Raja.
Akhirnya tidak lama
kemudian Sang Raja pun dikaruniai lagi seorang putra laki-laki yang ketiga dan
diberi nama Mandalacipta. Namun sang Raja dan Nyimas plered pun tak
henti-hentinya untuk memiliki seorang Putri perempuan yang cantik jelita.
Mereka berdua terus berusaha menambah lagi seorang putra. Lalu lahirlah putra
yang ke empat yang diberi nama Mandalarasa. Setahun kemudian lahir lagi seorang putra yang kelima
yang diberi nama Mandalajati, lalu putra
yang ke enam bernama Mandalabraja, putra ketujuh bernama Mandalaseta, putra
yang kedelapan Mandaladenta dan putra yang kesembilan Mandalaraga. Sekalipun
kerajaan itu subur dan makmur namun Raja Mandala tetap saja murung. Pasalnya,
beliau menginginkan seorang putri yang cantik jelita sebagai momongan.
Melihat tingkah laku
Rajamandala yang murung akhirnya para pendeta pun menganjurkan kepada sang Raja
untuk bertapa di “Puncak” Gunung di atas
kawah air panas. Tak lama kemudian sang Raja pun akhirnya menuruti anjuran para
pendeta tersebut lalu bergegaslah berangkat ke puncak gunung untuk bertapa
selama beberapa hari dengan berharap mendapatkan petunjuk dari sang Hyang Widi.
Setelah beberapa hari bertapa diatas puncak gunung akhirnya Rajamandala pun
mendapatkan wangsit dalam mimpinya. Bahwa sang raja memimpikan seorang bayi
perempuan yang terlahir dari rahim seorang istrinya, namun setelah lahirnya
seorang bayi perempuan tersebut terjadilah bencana gunung meletus dan akhirnya
para raknyatnya menderita kelaparan dan kehausan. Semua ladang pertanian hancur
luluh lantah diterpa lahar panas yang disemburkan dari letusan gunung tersebut.
Namun sedikitpun Rajamandala tidak menghiraukan sedikitpun tentang kejadian
bencana yang menimpa terhadapa rakyatnya sedikitpun karena beliau sangat
menginginkan seorang putri perempuan sebagai momonganya.
Setelah mendapatkan
wangsit tersebut Rajamandala pun akhirnya pulang dari pertapaan dengan hati yang
sumringah. Setelah tibanya dikerajaan Rajamandala pun terkejut dengan ucapan
istrinya bahwa dia sekarang lagi mengandung seorang anak. Lalu Rajamandala teringat akan mimpinya bahwa
istrinya Nyimas Plered akan melahirkan seorang putri yang cantik jelita namun
sang Raja pun tidak sedikitpun menghiraukan didalam mimpinya akan terjadi
bencana yang begitu dasyatnya yang akan menimpa kerajaanya tersebut.
Sembilan bulam berlalu
akhirnya lahirlah seorang putri yang cantik jelita yang lahir dari rahim Nyimas
Plered. Kemudian putri tersebut diberi nama “Dewi Mandalasari”. Rajamandala pun
sangat gembira sekali menyambut kelahiran putrinya itu. Sang Raja sekarang
sudah tidak termenung lagi karena keinginanya mendapatkan seorang putri sudah
terkabulkan. Saking sayangnya terhadap putrinya itu Rajamandala lupa akan
putra-putranya yang lain. Bahkan urusan pemerintahan dan kepentingan raknyatnya
pun diabaikan. Setiap harinya Rajamandala hanya bermain dan menimang-nimang
putrinya di Kaputren.
Keadaan itu membuat
putra-putranya yang lain iri dan rakyatnya merasa di abaikan. Melihat keadaan
itu Sang Dewa murka. Seorang raja tidak sepantasnya berbuat seperti itu. Sang
Raja tidak boleh mementingkan kehidupanya sendiri tanpa memperhatikan
kepentingan raknyanya. Maka sang dewa menurunkan penyakit kulit yang tidak ada
obatnya. Penyakit kulit itu mewabah pada hampir seluruh rakyat megamendung.
Selain itu juga seluruh wilayah kerajaan mengalami kekurangan air karena
kemarau panjang.
Kenyataan demikian,
membuat Rajamandala tersadar dari kekhilapannya. Ketika beliau menerima laporan
dari petinggi kerajaan, tampak begitu sedih dan menyesali perbuatanya itu yang
mengakibatkan kerajaannya terkena musibah. Lalu sang Raja pun teringat akan
mimpinya bahwa setelah mendapatkan putri perempuan kerajaanya akan terkena
musibah. Dalam mimpi tersebut ternyata sekarang menjadi kenyataan. Rajamandala
tidak tahu harus berbuat apa untuk rakyatnya. Rajamandala akhirnya mengutuk
dirinya sendiri dikarenakan perbuatannya yang telah menelantarkan rakyatnya. Begitu
pula pada putra-putranya. Ia meminta maaf karena selama ini telah
mengabaikanya.
Rajamandala pun
akhirnya mengadakan “Simewaka” yaitu musyawarah bagi para petinggi dan abdi di
dalam kerajaan. Sang Raja meminta saran dan pendapat dari para bawahanya dalam
mengatasi keadaan yang melanda negerinya. Salah seorang pendeta yaitu “Mpu
Sadang” memberi saran agar Rajamandala bertapa kembali di hulu sungai tempat
meminta petunjuk dari Sang Hyang Widi. Menurut para pendeta itu hanya Sang
Rajalah yang akan diterima permohonan oleh Dewa. Dan akhirnya usulan tersebut
dituruti oleh Sang Raja. Dengan perasaanya yang berat meningalkan putrinya
untuk bertapa sang Raja pun pergi untuk bertapa dengan harapan mendapatkan
wangsit kembali dari Sang Dewa. Sementara itu, rakyat kerajaan megamendung
semakin dicekam kelaparan dan penyakit kulit yang dideritanya. Hujan pun tak
kunjung datang, pohon-pohon sudah mulai melayu rerumputan pun semakin
mengering. Para rakyat berharap Sang Raja mendapatkan wangsit dari para Dewa
supaya ada jalan keluar dari bencana kelaparan dan wabah penyakit yang
menyerang kerajaanya itu. Nyimas Plered mengajak para wanita untuk membuat
kendi atau gentong sekedar menampung embun dan mendapatkan setetes air “Wahai
kaum wanita yang ada di kerajaanku ini ayolah kita bergegas membuat kendi atau
gentong yang berguna untuk menampung air”. Para wanita yang ada dikerajaan
itupun segera bergegas membuat kan kendi dan gentong.
Berbulan-bulan sudah
Rajamandala bertapa belum juga beliau mendapatkan wangsit dari sang Dewa. Rajamandala pun tak berputus asa untuk
melakukan pertapaan karena Ia juga merasa sangat bersalah atas apa yang telah
dilakukan pada negerinya itu. Hingga pada suatu hari di bulan purnama,
tiba-tiba terdengarlah suara petir yang menyambar dan bumipun berguncang. Sang
Raja pun merasa gembira karena biasanya hujan akan datang setelah petir datang.
Seluruh rakyat megamendungpun berame-rame berteriak hujan-hujan. Namun sampai
pagi pun tiba hujan belum juga turun. Ternyata pada malam itu Sang Raja mendapat
wangsit dari Dewa. Dalam wangsitnya disebutkan bahwa apabila negerinya ingin
segera subur makmur dan terhindar dari wabah penyakit, Sang Raja harus membuang
putri bungsunya yaitu Dewi Mandalasari ke hulu sungai Citarum dihutan sebelah
selatan situ Sipatuhan.
Sesaat Rajamandala pun
tercenung setelah menerima wangsit tersebut. Ia disudutkan pada dua pilihan
yang sangat sulit bagaikan memilih buah simalakama. Bagai mana tidak sang Raja
harus membuang putri kesayangannya yang selama ini dinanti-nanti kedatangan
putri tersebut dengan segala upaya beliau tempuh untuk mendapatkannya. Sekarang
putri tersebut harus dibuang ke hulu sungai. Namun apalah daya melihat
penderitaan seluruh rakyatnya itu Rajamandala harus segera membuang anak
kesayanganya itu “Dewi Mandalasari”.
Sang Raja pun akhirnya
bergegas segera pulang dari pertapaanya itu. Setelah sampai di kerajaanya
Rajamandala pun segera memberitahuakan wangsitnya itu kepada istrinya Nyimas
Plered “Wahai istriku tercinta saya semalam mendapatkan wangsit dari sang Dewa
dalam wangsitnya itu ternyata kita harus segera membuang putri kesanyangan kita
ke hulu sungai citarum segera agar rakyat yang ada di kerajaanku ini terhindar
dari bencana kelaparan dan wabah penyakit kulit”. Sejenak Nyimas Plered pun
merasa terkejut dengan perkataan sang Raja. Lalu Nyimas Plered pun bertanya
kepada sang Raja “ Wahai sang Raja benarkah apa yang diucapkan barusan kepadaku
mengenai wangsit itu?”. Lalu sang Raja pun menjawab dengan rasa hati pilu
“Benar istriku itu adalah wangsit yang saya terima dari sang Dewa”. Lalu nyimas
plered pun bertanya kembali kepada sang Raja “Wahai sang Raja adakah cara lain
supaya negeri kita terhindar dari bencana kelaparan dan wabah penyakit ini?
soalnya putri kita ini sangatlah paling disayang sang Raja dibandingkan
putra-putra yang lainya”. Kemudian Rajamandala pun menjawab “Tidak bisa
istriku, tidak ada cara lain untuk terhindar dari bencana ini mau tidak mau
kita harus menuruti kata sang Dewa”. Nyimas Plered pun menangis karena demi kemakmuran
dan kesejahtraan rakyat kerajaan megamendung ia harus kehilangan seorang putri
yang selama ini paling disayanginya.
Konon menurut cerita,
air mata Nyimas Plered ini memenuhi kendi yang sedang dibuatnya sampai-sampai cainya
rata atau airnya rata dengan bibir kendi tersebut. Lalu sang Raja pun
memeritahukan kepada para rakyatnya bahwa dia telah mendapatkan wangsit dari
sang Dewa. Rajamandala mengumpulkan para semua petinggi kerajaan untuk
membicarakan wangsit yang diterimanya itu. Semua para petinggipun memberikan
saran kepada sang Raja agar memenuhi keinginan sang Dewa. Salah satu petinggi
kerajaan pun berkata pada sang Raja “Wahai Raja yang mulia walaupun ini memang
keputusan yang sangat berat bagi sang Raja tetapi kita wajib melaksanakan
perintah sang Dewa agar rakyat kita bisa terhindar dari bencana ini”. Sang Raja
pun akhirnya menuruti apa yang telah disarankan oleh para petinggi kerajaan
itu. Sang Raja pun berkata kepada para petingginya “Baiklah apabila itu memang
sudah menjadi jalan satu-satunya agar kita terhindar dari bencana maka saya
akan segera melaksanakan wangsit itu”.
Maka berangkatlah sang
Raja ke hulu sugai Citarum di hutan sebelah selatan danau Sipatuhan. Walaupun
sudah “Pada Melarang” oleh para putra-putranya namun sang Raja tetap
melakukanya demi rakyatku yang penting “Cai Mahi” untuk kerajaanya.
Kepergian sang Raja diam-diam di ikuti oleh ketiga putranya yaitu Mandalawangi,
Mandalagiri dan Mandalacipta. Mereka bertekad untuk menjaga adiknya yang
dibuang sambil mencari kedikjayaan.
Ketika sampai di suatu bukit,
Rajamandala berdiri di atas batu untuk “Sindang Serta” istirahat sejenak.
Di atas batu itu pikiran sang Raja melayang-layang pada masa lalu “Nyoreang
katukang” saat dia begitu bahagianya menimang-nimang putri
kesayangannya. Namun sekarang belahan jiwanya harus dibuang ke hutan. Walaupun
demikian Rajamandala yakin bahwa putrinya itu akan di jaga oleh sang Dewa.
Konon tempat istirahatnya itu sekarang disebut Sindang Kerta, Batu Layang, dan
Soreang.
Saat Sang Raja beristirahat dan melihat ke
belakang, ia kaget melihat tiga pemuda yang diam-diam mengikutinya. Lalu
dipanggilnya ke tiga pemuda itu “Wahai para pemuda siapakah dirimu?
Berani-beraninya kamu mengikuti langkahku, ayo tunjukan wujudmu jika kamu
memang jantan hadapi aku”. Betapa marah Sang Raja. Lalu ketiga pemuda itu pun
menampakan dirinya yang ternyata putra-putranya “Maaf Ayahandaku kami adalah
putra-putramu yang telah mengikutimu diam-diam dari kerajaan, tak ada maksud
lain selain hanya ingin menjaga adikku”. Lalu sang Raja pun menyuruh ke tiga
anaknya itu berdiri di atas “batu berjajar” ke tiganya. Sang Raja bersabda,
“kalian jangan meragukan kekuasaan Hyang Widi atas semua ini, pasti kelak
dikemudian akan menjadi banjaran bagja bagi kita semua”. Betapa malu dan
takutnya ke tiga putra mahkota tersebut. Maka mereka pun berpamitan pada
ayahandanya untuk pergi berkelana.
Sesampainya di Hulu Sungai Citarum, Sang Raja
meletakan bayinya itu di sela-sela akar pohon yang bercabang. Beliau berdoa dan
memohon kepada Sang Hyang Widi, “Ong santi-santi, semoga Dewata mengabulkan
pengorbannanku ini”. Berlinanglah air mata Sang Raja ketika melihat bayinya
tersenyum saat diletakkan di bawah pohon itu. Pergilah Sang Raja meninggalkan
putrinya itu dengan rasa berat hati. Konon ceritanya daerah Hulu Sungai Citarum
dikenal dengan nama Cisanti.
Tak lama kemudian setelah Sang Raja meninggalkan
putrinya itu, lalu datanglah segerombolan penyemun (badog) yang begitu kejam di
bawah pimpinan Ki Dasta, sampailah ditempat itu. Ki Dasta memerintahkan kepada
anak buahnya untuk beristirahat sejenak sekedar melepas lelah, “Wahai para anak
buahku sebaiknya kita beristirahat dahulu sejenak badanku sudah mulai lelah ni”.
Lalu semua anak buahnya pun menuruti perintah sang pemimpinya itu. “Baiklah Ki
kita juga sudah mulai merasa lemas, kita sudah berjalan lumayan cukup jauh”.
Ketika mereka mau istirahat di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba terdengar
suara tangisan bayi yang diiringi suara gamelan. “Oaa...Oaa.....”Suara bayi
merengeng nangis. Tiba-tiba dalam pikiran Ki Dasta terbayang-bayang hidup
tenang di rumah dengan rengekan bayi. Ki Dasta berkata pada anak buahnya “Saya
mendengar suara tangisan bayi disekitar sini apakah kalian juga mendengarnya?”.
Lalu salah satu anak buahnya Ki Desta menjawabnya, “Ia Ki kita juga mendengar
tangisan bayi itu, tapi apakah mungkin di tengah hutan belantara ini ada
seorang bayi?”. Ki Desta pun menjawab, “Mungkin saja ada seseorang yang telah
membuang bayi itu”. Dan saat suara tangis bayi itu semakin keras Ki Dasta
memerintahkan anak buahnya mencari asal suara itu. “Sekarang tolong cari anak
bayi itu kasihan dari tadi menangis”. Baik Ki kita akan cari bayi itu”.Ternyata
suara itu berasal dari bawah pohon yang bercabang.
Aneh juga, keajaiban terjadi. Ki
Dasta yang begitu kejam tanpa belas kasihan, hatinya menjadi lemah dan terenyuh
melihat bayi perempuan itu. Anak buah Ki Dasta pun bertanya-tanya dalam hatinya
“Kenapa ya Ki Dasta bisa menyayangi bayi itu? Setahu saya ki Dasta orang yang
sangat kejam atau mungkinkah bayi tersebut pemberian dari Sang Dewa?”.Timbullah
kasih sayang dalam hatinya untuk merawat dan membesarkan bayi itu. Kata Ki
Dasta, “Karena aku temukan bayi ini di sela-sela pohon tarum dan tiba-tiba aku
mengasihinya, maka bayi ini akan ku rawat dan ku jadikan Raja dengan nama Sela
Asih”. Semua anak buah Ki Dasta merasa kaget bercampur bahagia. Akhirnya mereka
akan menetap di satu tempat, tidak berpetualang lagi.
Lalu bergegaslah ki Dasta dan
anak buahnya itu meninggalkan tempat itu. Sampai di tepi rawa di sisi Situ
Sipatahunan, Ki Dasta memerintahkan anak buahnya membangun padepokan. “Wahai
semua para anak buahku mari kita bangun sebuah padepokan di tempat ini agar
kita mulai saat ini menetap tinggal di tempat ini”. Lalu anak buahnya pun
bergegas membuat sebuah padepokan. Maka berdirilah bangunan kokoh yang terbuat
dari bambu atau “galah” sebagai tempat berlatih kedigjayaan. Tempat itu dinamai
“Kedathon Saung Galah”.
Padepokan itu berdiri dibawah
kekuasaan Ki Dasta. Disana tempatnya sangat subur dan makmur sehingga biasanya
kehidupan Ki Dasta dan anak buahnya selalu berpindah-pindah sekarang mereka
mulai hidup menetap di suatu padepokan. Ini kemungkinan berkat Ki Dasta
memelihara dan menyayangi Dewi Mandalasari atau sekarang dikenal dengan Dewi
Sela Asih. Di tempat itu pula Sang Dewi Mandalasari atau Dewi Sela Asih dididik
dan dibesarkan menjadi seorang putri yang Sakti Mandraguna. Dan setelah dewasa,
Dewi Sela Asih dinobatkan menjadi Ratu Saung Galah dengan gelar Raja Dasta.
Konon tempat-tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kadatuan, Cisunggalah, dan
Raja Desa.
Kerajaan Saung Galah yang berada
di tengah-tengah pesisir Situ Sipatahunan, kemudian dikenal sebagai wilayah
Madyalaya. Daerah yang subur banyak mengandung emas, dan berbagai macam sumber
makanan bagi penduduknya. Kerajaan Saung Galah begitu kaya, sehingga setiap
gerbang masuk wilayah kerajaan dibangun dengan emas. Gerbang tersebut dinamai
Dorawati yang artinya pintu gerbang kerajaan perempuan. Konon sampai sekarang
dikenal tempat-tempat atau nama desa Darawati.
Berkat kemakmuran rakyatnya,
Kerajaan Saung Galah menjadi terkenal ke seluruh pelosok tanah sunda. Banyak
orang-orang pindah kesana untuk mencari nafkah dan akhirnya menetap disana.
Kebaikan Dewi Sela Asih membuat banyak dicintai oleh rakyatnya. Namun Dewi Sela
Asih belum juga mendapatkan pendamping hidupnya. Melihat keadaan itu Ki Dasta
mempunyai gagasan untuk mencarikan pendamping hidup Dewi Sela Asih agar cepat
mendapatkan keturunan sebagai penerus kerajaanya itu. Ki Dasta pun mengumpulkan
para anak buahnya agar mencarikan solusi bagi puterinya itu. “Wahai para anak
buahku yang selama ini setia mengikutiku, barangkali salah seorang dari kalian
mempunyai gagasan cara untuk mendapatkan pendamping hidup buat putriku?”. Lalu
salah satu anak buah Ki Dasta ada yang menjawab pertanyaan itu. “Ki saya
mempunyai gagasan bagaimana kalau dikerajaan kita ini mengadakan sebuah
sayembara untuk menjadi pendamping hidup Ratu Dewi Sela Asih”. Lalu Ki Dasta
pun menjawab “Baiklah jika itu memang jalan keluar bagi putriku akan kita
segera laksanakan sayembara itu, tapi sebelumya saya akan bicarakan terlebih
dahulu pada putriku ini”.
Setelah kumpulan itu selesai Ki
Dasta segera bergegas pulang menghampiri putrinya itu. Setelah sampai di Istana
Ki Dasta berbicara kepada anaknya Desi Sela Asih. “Wahai putriku saya dan para
petinggi kerajaan memiliki usul untuk mencarikan pendamping bagi hidupmu,
apakah kamu setuju dengan usulanku ini”. Lalu Dewi Sela Asih pun menjawabnya
“Baiklah wahai ayahandaku saya setuju dengan usulanmu kali ini, tapi bagai mana
caranya?’. Lalu Ki Dasta pun menjawab “tenanglah wahai putriku aku dan para
petinggi kerajaan sudah membicarakan masalah ini. Kita akan mengadakan sebuah
sayembara untuk mendapatkan calon pendamping hidupmu, siapa yang nantinya bisa
mengalahkan kesaktianmu maka dia secara otomatis akan menjadi calon pendamping
hidupmu”. Lalu Dewi Sela Asih pun menjawab dengan pasrah “Baiklah ayahandaku
jika itu memang jalan yang terbaik, saya siap untuk melaksanakanya”.
Pada suatu ketika, Ki Dasta Sang
Maha Patih mengumumkan suatu sayembara untuk calon suami pendamping Dewi Sela
Asih. Siapa saja yang mampu menundukan Dewi Sela Asih, ia akan dijadikan suami
Sang Dewi dan sekaligus menjadi Raja di kerajaan Saung Galah. Tentu saja
sayembara atau perang tanding itu diminati oleh para kesatria dari berbagai pelosok
tanah sunda. Terdengarlah berita tersebut sampai ke kerajaan megamendung.
Akhirnya Rajamandala pun menyuruh para putranya untuk mengikuti sayembara itu,
karena Rajamandala tidak mengetahui bahwa Dewi Sela Asih itu adalah seorang
putri yang paling di sayanginya dahulu yaitu Dewi Mandalasari.
Dikumpulanlah para putra
Rajamandala, lalu Sang Raja pun berkata pada para putranya “Wahai para putraku
aku beritahukan pada kalian bahwa di kerajaan Saung Galah sedang mengadakan
sayembara, barang siapa yang memenangkan sayembara itu akan dinikahkan dengan
sang Ratu Dewi Sela Asih yang cantik jelita”. Mendengar perkataan ayahnya itu
Raden Mandalawangi yang merupakan anak paling sulung dari Rajamandala pun
sangat tertarik, karena beliau sampai saat ini belum memiliki calon pendamping
hidupnya. Lalu Raden Mandalawangi pun menjawabnya dengan lantang kepada
ayahandanya “Wahai ayahandaku saya sangat siap untuk mengikuti sayembara itu,
saya sudah lama mendambakan seorang pendamping hidupku”. Mendengar kesiapan
dari kakanya yang paling tua, semua adik-adiknya Raden Mandalawangi sangat
mendukungnya untuk mengikuti sayembara itu.
Sehari kemudian setelah mendengar
kabar itu Raden Mandalawangi di atar oleh kedua adiknya Mandala Giri dan
Mandala Cipta menuju Kerajaan Saung Galah. Setibanya di Kerajaan Saung Galah
sayembara telah berlangsung. Namun tak seorang pun yang mampu memenangkannya.
Atas dukungan Mandalagiri dan
Mandalacipta, Raden Mandalawangi turut serta dalam sayembara itu. Setelah
pertarungan tujuh hari tujuh malam, akhirnya karena tersentuh ujung payudara
Sang Dewi, maka ia pun menyatakan kalah dari Raden Mandalawangi. Dan akhirnya
Raden Mandalawangi dinyatakan sebagai pemenangnya.
Setelah memenangkan sayembara itu
Raden Mandalawangi dan kedua adiknya itu kembali pulang ke kerajaan Megamendung
untuk memberitahukan kabar kemenanganya itu kepada seluruh rakyat Megamendung.
Ayahanda Purwakarta dan Nyimas Plered begitu gembira dan bangga kepada anaknya
Raden Mandalawagi yang telah memenangkan sayembara itu sekaligus akan
mendapatkan calon pendamping hidupnya. Saking gembiranya Rajamandala pun
mengumumkan kepada seluruh rakyatnya bahwa putranya Raden Mandalawangi telah
memenangkan sayembara di kerajaan Saung Galah. Kedua kerajaan itu pun
mempersiapkan pesta pernikahan yang akan dilaksanakan dengan sangat meriah. Dan
Dewi Sela Asih pun menepati janjinya itu, barang siapa yang bisa mengalahkan
dirinya maka akan dijadikan sebagai calon pendamping hidupnya. Dewi Sela Asih
tidak mau menerima kutukan apabila Ia tidak menepati janjinya.
Pesta perkawinan pun dilaksanakan
begitu meriah sekali selama tujuh hari tujuh malam. Kedua rakyat dari kerajaan
itu pun merasakan kebahagiaan dari pesta itu tanpa disadari kedua mempelai pria
dan wanita mempunyai hubungan kakak beradik. Semua tidak mengetahuinya karena
Dewi mandalasari telah berganti nama menjadi Dewi Sela Asih atas pemberian dari
Ki Dasta yang menemukan dirinya di sela-sela pepohonan di tengah hutan.
Pada saat malam pengantin
tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat disertai hujan badai dan halilintar.
Rupanya Hyang Widi tidak merestui pernikahan mereka yang ternyata kakak beradik
seibu sebapak. Bumi pun menjadi gelap
dan halilintar bersahutan. Para rakyat pun ketakutan, mereka berlarian kesana
kemari untuk menyelamatkan diri. Rajamandala dan Ki Dasta pun bertanya-tanya
dalam hatinya apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ditengah-tengah kebahagian
dari kedua kerajaan ini tiba-tiba menjadi sebuah bencana. Apakah para Dewa
marah apa yang kita lakukan. Kedua mempelai itu terpental bersama tempat tidurnya
“kasur” ke arah timur. Keesokan harinya berdiri kokoh tiga gunung yang berjajar
yaitu gunung Selasih, gunung Kasur, dan gunung Mandalawangi.
Demikian cerita rakyat ini, konon
gunung Selasih itu adalah jelmaan Dewi Selasih sehingga selalu rimbun ditutupi
pohon. Katanya kalau kemarau panjang, dan melakukan pembersihan rumput di
gunung Selasih, maka akan turun hujan. Hal ini karena Sang Dewi merasa malu.
Kemudian Guagarba Sang Dewi, konon diidentikan dengan Gua Karang Gantungan. Dan
gunung Mandalawangi sebelah timur gunung Salasih berdiri kokoh melindunginya.
Sekarang nama-nama yang ada di cerita ini dijadikan sebuah nama kota atau
tempat diantaranya yaitu Raja Purwakarta dijadikan nama Kabupaten.Purwakarta
yang terdapat di Prov.Jawa Barat. Nyimas Plered dijadikan nama kota Plered di
kawasan Purwakarta. Gelar Rajamandala, Raden Mandalawangi dan Dewi Mandalasari
dijadikan nama sebuah desa Rajamandala, desa Mandalawangi, dan desa Mandalasari
di Kec.Cipatat Kab.Bandung Barat. Pada Melarang dijadikan nama sebuah desa dan
Kec.Padalarang di Kab.Bandung Barat Prov.Jawa Barat. Kata Cai Mahi dijadikan
nama kota Cimahi, Kata Nyoreang dijadikan nama kota Soreang, Kata Sindang Serta
dijadikan nama Kec.Sindang Kerta. Ternyata dengan adanya cerita rakyat ini kita
bisa mengetahui banyak tentang asal-usul nama kota yang ada di daerah Jawa
Barat.