sd

sd

Selasa, 07 Juli 2015

LEGENDA RAJAMANDALA


Pada jaman dahulu kala ditataran tanah sunda terdapat sebuah kerajaan yang subur dan makmur, hasil panen yang melimpahruah  membuat rakyatnya sangat aman dan sejahtera. Kerajaan tersebut sangat terkenal keberbagai pelosok di negeri nusantara ini karena tanahnya yang subur dan makmur. Kerajaan tersebut bernama Megamendung” dengan rajanya yang bernama Purwakarta. Namun raja tersebut terkenal dengan julukan “Raja Mandala”. Rajamandala adalah nama sebuah gelar seorang raja dikerajaan Megamendung. Sang Raja mempunyai seorang prameswari yang bernama Sang Dewi “Nyimas Plered”.
Diawal pernikahanya dengan Nyimas Plered dan Rajamandala dikaruniai seorang putra laki-laki yang diberi nama Mandalawangi. Sang Raja sangat senang sekali memiliki seorang keturunan laki-laki karena kelak diakhir nanti bisa mengantikan posisi dirinya sebagai seorang Raja. Sang Raja pun berkata kepada istrinya Nyimas Plered “Wahai istriku kita bersyukur telah dikaruniai seorang anak laki-laki sekarang saya menginginkan seorang anak perempuan”. Lalu Nyimas Plered pun menjawab “Baiklah wahai kakandaku tercinta kita mulai sekarang akan berusaha menambah putra lagi hingga kita mendapatkan keturunan seorang putri yang cantik jelita”. Tak lama kemudian Nyimas Plered pun dikaruniai lagi seorang putra yang kedua dan diberi nama Mandalagiri. Sang Raja  sangat senang sekali walaupun sebenarnya Sang Raja menginginkan lahir seorang anak perempuan.
Disela-sela kesibukan sang Raja, Nyimas Plered  memperhatikan tingkah laku sang Raja yang akhir-akhir ini selalu termenung. Lalu Nyimas Plered pun memnghampirinya. Seraya Nyimas Plered pun berkata kepada Sang Raja “Wahai sang Raja apa yang sedang kamu pikirkan?”. Lalu sang Raja pun menjawab “Saya   merindukan seorang putri perempuan yang cantik jelita”. Dan akhirnya Nyimas Plered pun berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan seorang putri yang di inginkan oleh sang Raja.
Akhirnya tidak lama kemudian Sang Raja pun dikaruniai lagi seorang putra laki-laki yang ketiga dan diberi nama Mandalacipta. Namun sang Raja dan Nyimas plered pun tak henti-hentinya untuk memiliki seorang Putri perempuan yang cantik jelita. Mereka berdua terus berusaha menambah lagi seorang putra. Lalu lahirlah putra yang ke empat yang diberi nama Mandalarasa. Setahun  kemudian lahir lagi seorang putra yang kelima yang diberi nama  Mandalajati, lalu putra yang ke enam bernama Mandalabraja, putra ketujuh bernama Mandalaseta, putra yang kedelapan Mandaladenta dan putra yang kesembilan Mandalaraga. Sekalipun kerajaan itu subur dan makmur namun Raja Mandala tetap saja murung. Pasalnya, beliau menginginkan seorang putri yang cantik jelita sebagai momongan.
Melihat tingkah laku Rajamandala yang murung akhirnya para pendeta pun menganjurkan kepada sang Raja untuk bertapa di  “Puncak” Gunung di atas kawah air panas. Tak lama kemudian sang Raja pun akhirnya menuruti anjuran para pendeta tersebut lalu bergegaslah berangkat ke puncak gunung untuk bertapa selama beberapa hari dengan berharap mendapatkan petunjuk dari sang Hyang Widi. Setelah beberapa hari bertapa diatas puncak gunung akhirnya Rajamandala pun mendapatkan wangsit dalam mimpinya. Bahwa sang raja memimpikan seorang bayi perempuan yang terlahir dari rahim seorang istrinya, namun setelah lahirnya seorang bayi perempuan tersebut terjadilah bencana gunung meletus dan akhirnya para raknyatnya menderita kelaparan dan kehausan. Semua ladang pertanian hancur luluh lantah diterpa lahar panas yang disemburkan dari letusan gunung tersebut. Namun sedikitpun Rajamandala tidak menghiraukan sedikitpun tentang kejadian bencana yang menimpa terhadapa rakyatnya sedikitpun karena beliau sangat menginginkan seorang putri perempuan sebagai momonganya.
Setelah mendapatkan wangsit tersebut Rajamandala pun akhirnya pulang dari pertapaan dengan hati yang sumringah. Setelah tibanya dikerajaan Rajamandala pun terkejut dengan ucapan istrinya bahwa dia sekarang lagi mengandung seorang anak.  Lalu Rajamandala teringat akan mimpinya bahwa istrinya Nyimas Plered akan melahirkan seorang putri yang cantik jelita namun sang Raja pun tidak sedikitpun menghiraukan didalam mimpinya akan terjadi bencana yang begitu dasyatnya yang akan menimpa kerajaanya tersebut.
Sembilan bulam berlalu akhirnya lahirlah seorang putri yang cantik jelita yang lahir dari rahim Nyimas Plered. Kemudian putri tersebut diberi nama “Dewi Mandalasari”. Rajamandala pun sangat gembira sekali menyambut kelahiran putrinya itu. Sang Raja sekarang sudah tidak termenung lagi karena keinginanya mendapatkan seorang putri sudah terkabulkan. Saking sayangnya terhadap putrinya itu Rajamandala lupa akan putra-putranya yang lain. Bahkan urusan pemerintahan dan kepentingan raknyatnya pun diabaikan. Setiap harinya Rajamandala hanya bermain dan menimang-nimang putrinya di Kaputren.
Keadaan itu membuat putra-putranya yang lain iri dan rakyatnya merasa di abaikan. Melihat keadaan itu Sang Dewa murka. Seorang raja tidak sepantasnya berbuat seperti itu. Sang Raja tidak boleh mementingkan kehidupanya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan raknyanya. Maka sang dewa menurunkan penyakit kulit yang tidak ada obatnya. Penyakit kulit itu mewabah pada hampir seluruh rakyat megamendung. Selain itu juga seluruh wilayah kerajaan mengalami kekurangan air karena kemarau panjang.
Kenyataan demikian, membuat Rajamandala tersadar dari kekhilapannya. Ketika beliau menerima laporan dari petinggi kerajaan, tampak begitu sedih dan menyesali perbuatanya itu yang mengakibatkan kerajaannya terkena musibah. Lalu sang Raja pun teringat akan mimpinya bahwa setelah mendapatkan putri perempuan kerajaanya akan terkena musibah. Dalam mimpi tersebut ternyata sekarang menjadi kenyataan. Rajamandala tidak tahu harus berbuat apa untuk rakyatnya. Rajamandala akhirnya mengutuk dirinya sendiri dikarenakan perbuatannya yang telah menelantarkan rakyatnya. Begitu pula pada putra-putranya. Ia meminta maaf karena selama ini telah mengabaikanya.
Rajamandala pun akhirnya mengadakan “Simewaka” yaitu musyawarah bagi para petinggi dan abdi di dalam kerajaan. Sang Raja meminta saran dan pendapat dari para bawahanya dalam mengatasi keadaan yang melanda negerinya. Salah seorang pendeta yaitu “Mpu Sadang” memberi saran agar Rajamandala bertapa kembali di hulu sungai tempat meminta petunjuk dari Sang Hyang Widi. Menurut para pendeta itu hanya Sang Rajalah yang akan diterima permohonan oleh Dewa. Dan akhirnya usulan tersebut dituruti oleh Sang Raja. Dengan perasaanya yang berat meningalkan putrinya untuk bertapa sang Raja pun pergi untuk bertapa dengan harapan mendapatkan wangsit kembali dari Sang Dewa. Sementara itu, rakyat kerajaan megamendung semakin dicekam kelaparan dan penyakit kulit yang dideritanya. Hujan pun tak kunjung datang, pohon-pohon sudah mulai melayu rerumputan pun semakin mengering. Para rakyat berharap Sang Raja mendapatkan wangsit dari para Dewa supaya ada jalan keluar dari bencana kelaparan dan wabah penyakit yang menyerang kerajaanya itu. Nyimas Plered mengajak para wanita untuk membuat kendi atau gentong sekedar menampung embun dan mendapatkan setetes air “Wahai kaum wanita yang ada di kerajaanku ini ayolah kita bergegas membuat kendi atau gentong yang berguna untuk menampung air”. Para wanita yang ada dikerajaan itupun segera bergegas membuat kan kendi dan gentong.
Berbulan-bulan sudah Rajamandala bertapa belum juga beliau mendapatkan wangsit dari sang Dewa.  Rajamandala pun tak berputus asa untuk melakukan pertapaan karena Ia juga merasa sangat bersalah atas apa yang telah dilakukan pada negerinya itu. Hingga pada suatu hari di bulan purnama, tiba-tiba terdengarlah suara petir yang menyambar dan bumipun berguncang. Sang Raja pun merasa gembira karena biasanya hujan akan datang setelah petir datang. Seluruh rakyat megamendungpun berame-rame berteriak hujan-hujan. Namun sampai pagi pun tiba hujan belum juga turun. Ternyata pada malam itu Sang Raja mendapat wangsit dari Dewa. Dalam wangsitnya disebutkan bahwa apabila negerinya ingin segera subur makmur dan terhindar dari wabah penyakit, Sang Raja harus membuang putri bungsunya yaitu Dewi Mandalasari ke hulu sungai Citarum dihutan sebelah selatan situ Sipatuhan.
Sesaat Rajamandala pun tercenung setelah menerima wangsit tersebut. Ia disudutkan pada dua pilihan yang sangat sulit bagaikan memilih buah simalakama. Bagai mana tidak sang Raja harus membuang putri kesayangannya yang selama ini dinanti-nanti kedatangan putri tersebut dengan segala upaya beliau tempuh untuk mendapatkannya. Sekarang putri tersebut harus dibuang ke hulu sungai. Namun apalah daya melihat penderitaan seluruh rakyatnya itu Rajamandala harus segera membuang anak kesayanganya itu “Dewi Mandalasari”.
Sang Raja pun akhirnya bergegas segera pulang dari pertapaanya itu. Setelah sampai di kerajaanya Rajamandala pun segera memberitahuakan wangsitnya itu kepada istrinya Nyimas Plered “Wahai istriku tercinta saya semalam mendapatkan wangsit dari sang Dewa dalam wangsitnya itu ternyata kita harus segera membuang putri kesanyangan kita ke hulu sungai citarum segera agar rakyat yang ada di kerajaanku ini terhindar dari bencana kelaparan dan wabah penyakit kulit”. Sejenak Nyimas Plered pun merasa terkejut dengan perkataan sang Raja. Lalu Nyimas Plered pun bertanya kepada sang Raja “ Wahai sang Raja benarkah apa yang diucapkan barusan kepadaku mengenai wangsit itu?”. Lalu sang Raja pun menjawab dengan rasa hati pilu “Benar istriku itu adalah wangsit yang saya terima dari sang Dewa”. Lalu nyimas plered pun bertanya kembali kepada sang Raja “Wahai sang Raja adakah cara lain supaya negeri kita terhindar dari bencana kelaparan dan wabah penyakit ini? soalnya putri kita ini sangatlah paling disayang sang Raja dibandingkan putra-putra yang lainya”. Kemudian Rajamandala pun menjawab “Tidak bisa istriku, tidak ada cara lain untuk terhindar dari bencana ini mau tidak mau kita harus menuruti kata sang Dewa”. Nyimas Plered pun menangis karena demi kemakmuran dan kesejahtraan rakyat kerajaan megamendung ia harus kehilangan seorang putri yang selama ini paling disayanginya.
Konon menurut cerita, air mata Nyimas Plered ini memenuhi kendi yang sedang dibuatnya sampai-sampai cainya rata atau airnya rata dengan bibir kendi tersebut. Lalu sang Raja pun memeritahukan kepada para rakyatnya bahwa dia telah mendapatkan wangsit dari sang Dewa. Rajamandala mengumpulkan para semua petinggi kerajaan untuk membicarakan wangsit yang diterimanya itu. Semua para petinggipun memberikan saran kepada sang Raja agar memenuhi keinginan sang Dewa. Salah satu petinggi kerajaan pun berkata pada sang Raja “Wahai Raja yang mulia walaupun ini memang keputusan yang sangat berat bagi sang Raja tetapi kita wajib melaksanakan perintah sang Dewa agar rakyat kita bisa terhindar dari bencana ini”. Sang Raja pun akhirnya menuruti apa yang telah disarankan oleh para petinggi kerajaan itu. Sang Raja pun berkata kepada para petingginya “Baiklah apabila itu memang sudah menjadi jalan satu-satunya agar kita terhindar dari bencana maka saya akan segera melaksanakan wangsit itu”.
Maka berangkatlah sang Raja ke hulu sugai Citarum di hutan sebelah selatan danau Sipatuhan. Walaupun sudah “Pada Melarang” oleh para putra-putranya namun sang Raja tetap melakukanya demi rakyatku yang penting “Cai Mahi” untuk kerajaanya. Kepergian sang Raja diam-diam di ikuti oleh ketiga putranya yaitu Mandalawangi, Mandalagiri dan Mandalacipta. Mereka bertekad untuk menjaga adiknya yang dibuang sambil mencari kedikjayaan.
Ketika sampai di suatu bukit, Rajamandala berdiri di atas batu untuk “Sindang Serta” istirahat sejenak. Di atas batu itu pikiran sang Raja melayang-layang pada masa lalu “Nyoreang katukang” saat dia begitu bahagianya menimang-nimang putri kesayangannya. Namun sekarang belahan jiwanya harus dibuang ke hutan. Walaupun demikian Rajamandala yakin bahwa putrinya itu akan di jaga oleh sang Dewa. Konon tempat istirahatnya itu sekarang disebut Sindang Kerta, Batu Layang, dan Soreang.
Saat Sang Raja beristirahat dan melihat ke belakang, ia kaget melihat tiga pemuda yang diam-diam mengikutinya. Lalu dipanggilnya ke tiga pemuda itu “Wahai para pemuda siapakah dirimu? Berani-beraninya kamu mengikuti langkahku, ayo tunjukan wujudmu jika kamu memang jantan hadapi aku”. Betapa marah Sang Raja. Lalu ketiga pemuda itu pun menampakan dirinya yang ternyata putra-putranya “Maaf Ayahandaku kami adalah putra-putramu yang telah mengikutimu diam-diam dari kerajaan, tak ada maksud lain selain hanya ingin menjaga adikku”. Lalu sang Raja pun menyuruh ke tiga anaknya itu berdiri di atas “batu berjajar” ke tiganya. Sang Raja bersabda, “kalian jangan meragukan kekuasaan Hyang Widi atas semua ini, pasti kelak dikemudian akan menjadi banjaran bagja bagi kita semua”. Betapa malu dan takutnya ke tiga putra mahkota tersebut. Maka mereka pun berpamitan pada ayahandanya untuk pergi berkelana.
Sesampainya di Hulu Sungai Citarum, Sang Raja meletakan bayinya itu di sela-sela akar pohon yang bercabang. Beliau berdoa dan memohon kepada Sang Hyang Widi, “Ong santi-santi, semoga Dewata mengabulkan pengorbannanku ini”. Berlinanglah air mata Sang Raja ketika melihat bayinya tersenyum saat diletakkan di bawah pohon itu. Pergilah Sang Raja meninggalkan putrinya itu dengan rasa berat hati. Konon ceritanya daerah Hulu Sungai Citarum dikenal dengan nama Cisanti.
Tak lama kemudian setelah Sang Raja meninggalkan putrinya itu, lalu datanglah segerombolan penyemun (badog) yang begitu kejam di bawah pimpinan Ki Dasta, sampailah ditempat itu. Ki Dasta memerintahkan kepada anak buahnya untuk beristirahat sejenak sekedar melepas lelah, “Wahai para anak buahku sebaiknya kita beristirahat dahulu sejenak badanku sudah mulai lelah ni”. Lalu semua anak buahnya pun menuruti perintah sang pemimpinya itu. “Baiklah Ki kita juga sudah mulai merasa lemas, kita sudah berjalan lumayan cukup jauh”. Ketika mereka mau istirahat di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang diiringi suara gamelan. “Oaa...Oaa.....”Suara bayi merengeng nangis. Tiba-tiba dalam pikiran Ki Dasta terbayang-bayang hidup tenang di rumah dengan rengekan bayi. Ki Dasta berkata pada anak buahnya “Saya mendengar suara tangisan bayi disekitar sini apakah kalian juga mendengarnya?”. Lalu salah satu anak buahnya Ki Desta menjawabnya, “Ia Ki kita juga mendengar tangisan bayi itu, tapi apakah mungkin di tengah hutan belantara ini ada seorang bayi?”. Ki Desta pun menjawab, “Mungkin saja ada seseorang yang telah membuang bayi itu”. Dan saat suara tangis bayi itu semakin keras Ki Dasta memerintahkan anak buahnya mencari asal suara itu. “Sekarang tolong cari anak bayi itu kasihan dari tadi menangis”. Baik Ki kita akan cari bayi itu”.Ternyata suara itu berasal dari bawah pohon yang bercabang.
Aneh juga, keajaiban terjadi. Ki Dasta yang begitu kejam tanpa belas kasihan, hatinya menjadi lemah dan terenyuh melihat bayi perempuan itu. Anak buah Ki Dasta pun bertanya-tanya dalam hatinya “Kenapa ya Ki Dasta bisa menyayangi bayi itu? Setahu saya ki Dasta orang yang sangat kejam atau mungkinkah bayi tersebut pemberian dari Sang Dewa?”.Timbullah kasih sayang dalam hatinya untuk merawat dan membesarkan bayi itu. Kata Ki Dasta, “Karena aku temukan bayi ini di sela-sela pohon tarum dan tiba-tiba aku mengasihinya, maka bayi ini akan ku rawat dan ku jadikan Raja dengan nama Sela Asih”. Semua anak buah Ki Dasta merasa kaget bercampur bahagia. Akhirnya mereka akan menetap di satu tempat, tidak berpetualang lagi.
Lalu bergegaslah ki Dasta dan anak buahnya itu meninggalkan tempat itu. Sampai di tepi rawa di sisi Situ Sipatahunan, Ki Dasta memerintahkan anak buahnya membangun padepokan. “Wahai semua para anak buahku mari kita bangun sebuah padepokan di tempat ini agar kita mulai saat ini menetap tinggal di tempat ini”. Lalu anak buahnya pun bergegas membuat sebuah padepokan. Maka berdirilah bangunan kokoh yang terbuat dari bambu atau “galah” sebagai tempat berlatih kedigjayaan. Tempat itu dinamai “Kedathon Saung Galah”.
Padepokan itu berdiri dibawah kekuasaan Ki Dasta. Disana tempatnya sangat subur dan makmur sehingga biasanya kehidupan Ki Dasta dan anak buahnya selalu berpindah-pindah sekarang mereka mulai hidup menetap di suatu padepokan. Ini kemungkinan berkat Ki Dasta memelihara dan menyayangi Dewi Mandalasari atau sekarang dikenal dengan Dewi Sela Asih. Di tempat itu pula Sang Dewi Mandalasari atau Dewi Sela Asih dididik dan dibesarkan menjadi seorang putri yang Sakti Mandraguna. Dan setelah dewasa, Dewi Sela Asih dinobatkan menjadi Ratu Saung Galah dengan gelar Raja Dasta. Konon tempat-tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kadatuan, Cisunggalah, dan Raja Desa.
Kerajaan Saung Galah yang berada di tengah-tengah pesisir Situ Sipatahunan, kemudian dikenal sebagai wilayah Madyalaya. Daerah yang subur banyak mengandung emas, dan berbagai macam sumber makanan bagi penduduknya. Kerajaan Saung Galah begitu kaya, sehingga setiap gerbang masuk wilayah kerajaan dibangun dengan emas. Gerbang tersebut dinamai Dorawati yang artinya pintu gerbang kerajaan perempuan. Konon sampai sekarang dikenal tempat-tempat atau nama desa Darawati.
Berkat kemakmuran rakyatnya, Kerajaan Saung Galah menjadi terkenal ke seluruh pelosok tanah sunda. Banyak orang-orang pindah kesana untuk mencari nafkah dan akhirnya menetap disana. Kebaikan Dewi Sela Asih membuat banyak dicintai oleh rakyatnya. Namun Dewi Sela Asih belum juga mendapatkan pendamping hidupnya. Melihat keadaan itu Ki Dasta mempunyai gagasan untuk mencarikan pendamping hidup Dewi Sela Asih agar cepat mendapatkan keturunan sebagai penerus kerajaanya itu. Ki Dasta pun mengumpulkan para anak buahnya agar mencarikan solusi bagi puterinya itu. “Wahai para anak buahku yang selama ini setia mengikutiku, barangkali salah seorang dari kalian mempunyai gagasan cara untuk mendapatkan pendamping hidup buat putriku?”. Lalu salah satu anak buah Ki Dasta ada yang menjawab pertanyaan itu. “Ki saya mempunyai gagasan bagaimana kalau dikerajaan kita ini mengadakan sebuah sayembara untuk menjadi pendamping hidup Ratu Dewi Sela Asih”. Lalu Ki Dasta pun menjawab “Baiklah jika itu memang jalan keluar bagi putriku akan kita segera laksanakan sayembara itu, tapi sebelumya saya akan bicarakan terlebih dahulu pada putriku ini”.
Setelah kumpulan itu selesai Ki Dasta segera bergegas pulang menghampiri putrinya itu. Setelah sampai di Istana Ki Dasta berbicara kepada anaknya Desi Sela Asih. “Wahai putriku saya dan para petinggi kerajaan memiliki usul untuk mencarikan pendamping bagi hidupmu, apakah kamu setuju dengan usulanku ini”. Lalu Dewi Sela Asih pun menjawabnya “Baiklah wahai ayahandaku saya setuju dengan usulanmu kali ini, tapi bagai mana caranya?’. Lalu Ki Dasta pun menjawab “tenanglah wahai putriku aku dan para petinggi kerajaan sudah membicarakan masalah ini. Kita akan mengadakan sebuah sayembara untuk mendapatkan calon pendamping hidupmu, siapa yang nantinya bisa mengalahkan kesaktianmu maka dia secara otomatis akan menjadi calon pendamping hidupmu”. Lalu Dewi Sela Asih pun menjawab dengan pasrah “Baiklah ayahandaku jika itu memang jalan yang terbaik, saya siap untuk melaksanakanya”.
Pada suatu ketika, Ki Dasta Sang Maha Patih mengumumkan suatu sayembara untuk calon suami pendamping Dewi Sela Asih. Siapa saja yang mampu menundukan Dewi Sela Asih, ia akan dijadikan suami Sang Dewi dan sekaligus menjadi Raja di kerajaan Saung Galah. Tentu saja sayembara atau perang tanding itu diminati oleh para kesatria dari berbagai pelosok tanah sunda. Terdengarlah berita tersebut sampai ke kerajaan megamendung. Akhirnya Rajamandala pun menyuruh para putranya untuk mengikuti sayembara itu, karena Rajamandala tidak mengetahui bahwa Dewi Sela Asih itu adalah seorang putri yang paling di sayanginya dahulu yaitu Dewi Mandalasari.
Dikumpulanlah para putra Rajamandala, lalu Sang Raja pun berkata pada para putranya “Wahai para putraku aku beritahukan pada kalian bahwa di kerajaan Saung Galah sedang mengadakan sayembara, barang siapa yang memenangkan sayembara itu akan dinikahkan dengan sang Ratu Dewi Sela Asih yang cantik jelita”. Mendengar perkataan ayahnya itu Raden Mandalawangi yang merupakan anak paling sulung dari Rajamandala pun sangat tertarik, karena beliau sampai saat ini belum memiliki calon pendamping hidupnya. Lalu Raden Mandalawangi pun menjawabnya dengan lantang kepada ayahandanya “Wahai ayahandaku saya sangat siap untuk mengikuti sayembara itu, saya sudah lama mendambakan seorang pendamping hidupku”. Mendengar kesiapan dari kakanya yang paling tua, semua adik-adiknya Raden Mandalawangi sangat mendukungnya untuk mengikuti sayembara itu.
Sehari kemudian setelah mendengar kabar itu Raden Mandalawangi di atar oleh kedua adiknya Mandala Giri dan Mandala Cipta menuju Kerajaan Saung Galah. Setibanya di Kerajaan Saung Galah sayembara telah berlangsung. Namun tak seorang pun yang mampu memenangkannya. Atas dukungan Mandalagiri dan Mandalacipta, Raden Mandalawangi turut serta dalam sayembara itu. Setelah pertarungan tujuh hari tujuh malam, akhirnya karena tersentuh ujung payudara Sang Dewi, maka ia pun menyatakan kalah dari Raden Mandalawangi. Dan akhirnya Raden Mandalawangi dinyatakan sebagai pemenangnya.
Setelah memenangkan sayembara itu Raden Mandalawangi dan kedua adiknya itu kembali pulang ke kerajaan Megamendung untuk memberitahukan kabar kemenanganya itu kepada seluruh rakyat Megamendung. Ayahanda Purwakarta dan Nyimas Plered begitu gembira dan bangga kepada anaknya Raden Mandalawagi yang telah memenangkan sayembara itu sekaligus akan mendapatkan calon pendamping hidupnya. Saking gembiranya Rajamandala pun mengumumkan kepada seluruh rakyatnya bahwa putranya Raden Mandalawangi telah memenangkan sayembara di kerajaan Saung Galah. Kedua kerajaan itu pun mempersiapkan pesta pernikahan yang akan dilaksanakan dengan sangat meriah. Dan Dewi Sela Asih pun menepati janjinya itu, barang siapa yang bisa mengalahkan dirinya maka akan dijadikan sebagai calon pendamping hidupnya. Dewi Sela Asih tidak mau menerima kutukan apabila Ia tidak menepati janjinya.
Pesta perkawinan pun dilaksanakan begitu meriah sekali selama tujuh hari tujuh malam. Kedua rakyat dari kerajaan itu pun merasakan kebahagiaan dari pesta itu tanpa disadari kedua mempelai pria dan wanita mempunyai hubungan kakak beradik. Semua tidak mengetahuinya karena Dewi mandalasari telah berganti nama menjadi Dewi Sela Asih atas pemberian dari Ki Dasta yang menemukan dirinya di sela-sela pepohonan di tengah hutan.
Pada saat malam pengantin tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat disertai hujan badai dan halilintar. Rupanya Hyang Widi tidak merestui pernikahan mereka yang ternyata kakak beradik seibu sebapak.  Bumi pun menjadi gelap dan halilintar bersahutan. Para rakyat pun ketakutan, mereka berlarian kesana kemari untuk menyelamatkan diri. Rajamandala dan Ki Dasta pun bertanya-tanya dalam hatinya apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ditengah-tengah kebahagian dari kedua kerajaan ini tiba-tiba menjadi sebuah bencana. Apakah para Dewa marah apa yang kita lakukan. Kedua mempelai itu terpental bersama tempat tidurnya “kasur” ke arah timur. Keesokan harinya berdiri kokoh tiga gunung yang berjajar yaitu gunung Selasih, gunung Kasur, dan gunung Mandalawangi.
Demikian cerita rakyat ini, konon gunung Selasih itu adalah jelmaan Dewi Selasih sehingga selalu rimbun ditutupi pohon. Katanya kalau kemarau panjang, dan melakukan pembersihan rumput di gunung Selasih, maka akan turun hujan. Hal ini karena Sang Dewi merasa malu. Kemudian Guagarba Sang Dewi, konon diidentikan dengan Gua Karang Gantungan. Dan gunung Mandalawangi sebelah timur gunung Salasih berdiri kokoh melindunginya. Sekarang nama-nama yang ada di cerita ini dijadikan sebuah nama kota atau tempat diantaranya yaitu Raja Purwakarta dijadikan nama Kabupaten.Purwakarta yang terdapat di Prov.Jawa Barat. Nyimas Plered dijadikan nama kota Plered di kawasan Purwakarta. Gelar Rajamandala, Raden Mandalawangi dan Dewi Mandalasari dijadikan nama sebuah desa Rajamandala, desa Mandalawangi, dan desa Mandalasari di Kec.Cipatat Kab.Bandung Barat. Pada Melarang dijadikan nama sebuah desa dan Kec.Padalarang di Kab.Bandung Barat Prov.Jawa Barat. Kata Cai Mahi dijadikan nama kota Cimahi, Kata Nyoreang dijadikan nama kota Soreang, Kata Sindang Serta dijadikan nama Kec.Sindang Kerta. Ternyata dengan adanya cerita rakyat ini kita bisa mengetahui banyak tentang asal-usul nama kota yang ada di daerah Jawa Barat.